Pekerja Keras |
Siang mbak. Saya menyapa petugas cek
in counter Garuda di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, sambil menyerahkan tiket
penerbangan Jakarta-Surabaya. Tolong emergency seat, kalau kalau ada, lanjut
saya. Sebentar pak Adnan saya lihat dulu, jawab petugas cek in tersebut dengan
ramah. Bagasi ada berapa pak Adnan? ,lanjutnya dengan ramah. Sepertinya sudah
menjadi standar keramahan semua petugas cek in Garuda di seluruh Indonesia, yang merupakan
penerbangan bintang lima, kebanggan Indonesia. Tidak ada bagasi, jawab saya.
Dengan cekatan petugas tersebut mencarikan saya tempat duduk di emergency exit.
Baik pak Adnan, bapak mau di gang, atau windows?. Diwindows aja mbak, terima
kasih, jawab saya singkat. Ok pak Adnan, bapak di seat nomor 15 A, pintu F5, boarding jam 9.35. Air port tax
Rp.40.000. Baik mbak, terima kasih. Saya meninggalkan cek in counter menuju
ruang tunggu.
Jam 9.35, penerbangan menuju
Surabaya, boarding. Di seat nomor 15 A, setelah mengucapkan do’a shafar, saya
menoleh kesamping melihat kesibukan diluar pesawat, melihat para petugas bagasi
dengan cekatan membawa dan mengatur semua bagasi penumpang, ditengah sengatan
matahari pagi yang mulai terasa panas.
Subhanallah, begitu sibuknya mereka
semua diluar, sementara saya duduk nyaman di kursi pesawat dengan udara AC yang
sejuk. Spontan, saya merasa kerdil dihadapan mereka yang berada diluar sana. Walau
mereka sebenarnya tidak tahu kalau saya sedang memperhatikan mereka sambil
merenung. Saya membayangkan, mungkin ada diantara mereka yang belum sarapan,
atau anak-anak mereka tidak sekolah karena ketiadaan biaya. Begitu mulia
mereka, rela berpanas-panasan demi untuk kehidupan anak istri mereka. Semoga
mereka ikhlas demi karena Allah dalam menjalankan tugas keseharian mereka.
Saya teringat. Ketika Rasulullah saw,
berpapasan dengan Sa’ad bin Muadz al-anshory ra., beliau saw melihat telapak tangan Muadz yang melepuh, dan
bertanya, kenapa tangan antum wahai Muadz?. Jawabnya, saya baru saja
menyelesaikan suatu pekerjaan. Spontan Rasulullah saw menarik tangan Muadz untuk
dicium, dan berkata, demi Allah tangan ini dicintai oleh Allah dan Rasul, dan
tidak akan tersentuh oleh api neraka. Tangan yang melepuh karena kerja keras, merupakan
jaminan tidak tersentuh oleh api neraka. Kira-kira demikian makna perkataan
Rasulullah saw tersebut di atas. Seandainya Rasulullah saw hidup di jaman ini,
mungkin bukan tangan saya yang dicium oleh beliau saw, atau tangan para pejabat
yang korup, tetapi tangan-tangan kasar yang berpenghasilan rendah, namun dengan
setia bekerja keras demi harga diri mereka, agar tidak tergantung kepada orang
lain.
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah
saw, hanya tiga orang yang mendapatkan kemuliaan untuk dicium tangannya. Tangan
siapakah? Selain Sa’ad bin Muadz al-anshory?. Apakah tangan Abu Bakr?, Umar?,
Ustman?, Ali?, atau sahabat yang lain?, yang lebih mulia nasabnya?. Ternyata bukan
sahabat-sahabat tersebut di atas.
Orang kedua dan ketiga yang dicium
tangannya oleh Rasulullah saw, adalah Muadz bin Jabbal ra, dan tangan putrinya Fatimah
ra, seorang ibu rumah tangga yang lebih mengutamakan tinggal dirumah daripada keluar rumah mencari nafkah, apalagi sampai berikhtilat dengan laki-laki bukan muhrimnya. Apa gerangan penyebabnya?. Penyebabnya, adalah karena ketiganya bertemu
dengan Rasulullah saw dengan kondisi tangan yang melepuh seusai kerja keras.
Subhanalllah, begitu tinggi
penghargaan Rasulullah saw terhadap kerja keras. Sampai-sampai beliau saw bersedia
mencium tangan mereka, sambil menjanjikan bebas dari sentuhan api neraka.
Begitu tinggi penghargaan Islam terhadap
kerja keras. Begitu mulia seorang pekerja dalam kaca mata Islam. Jumhur ‘ulama sepakat, bahwa haram
hukumnya orang yang menganggur. Ali bin Abu Tholib ra., berkata, kefakiran dapat merubah orang menjadi kafir. Bahkan sebagian ‘ulama
mengharamkan meminta-minta kecuali sangat terpaksa. Tangan di atas lebih mulia
dari pada tangan dibawah. Rasulullah saw pernah memberi kampak kepada salah
seorang sahabat untuk diperintahkan pergi mencari kayu bakar kemudian dijual. Lebih baik Anda menjual kayu bakar dari pada
meminta-minta.
Masyarakat kita, entah salah siapa,
apakah pemerintah, ‘ulama, atau para hartawan?. Semakin banyak yang mengemis,
baik dengan cara konvensioal dipinggir jalan, atau dengan cara-cara yang
katanya terhormat, yaitu dengan cara meminjam ke Negara lain dengan bunga [riba]
yang mencekik. Bardasarkan informasi, sepertiga dari APBN kita tiap tahun digunakan
unutk mencicil utang.
Kemuliaan suatu bangsa bila terdapat:
Pertama, pemimpin yang adil. Kedua,
hakim yang bijaksana. Ketiga, ‘ulama
yang mengamalkan ilmunya. Keempat, hartawan
yang menginfakkan hartanya. Kelima rakyat yang medo’akan pemimpinnya.
Musibah yang sangat luar biasa, bila
pemimpin tidak menyayangi rakyatnya dengan tulus, dan rakyat tidak juga
menyayangi pemimpinnya. Mungkin ini sudah terjadi di Indonesia, karena para
calon pemimpin mendekati rakyat dan merayu rakyat hanya sekali dalam lima tahun,
yaitu menjelang pemilihan umum. Setelah itu, selama lima tahun mereka
benar-benar melupakan rakyat. Mungkin benar apa yang ditulis oleh Henry Makaw
Ph.D., dalam bukunya, ILLUMINATI. Dunia dalam genggaman perkumpulan setan:
sebagian besar pejabat publik, merupakan boneka Zionisme, atau paling tidak
menjalankan agenda Zionisme dalam menjalankan penataan dunia baru, New World
Order. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar