Jejak Telapak Kaki Nabi Saw. |
Hamba
yang paling dekat kepada Allah Yang Maha Esa, adalah orang yang paling dekat
kepada ketaatan dan paling jauh dari kemaksiatan.
Suatau
ketika, segolongan shahabat berdiri didepan pintu Amirul Mukminin Umar Ibn
Khattab ra, meminta izin untuk masuk pada hari pertemuan saat muktamar diadakan
setiap tahunnya oleh Amirul Mukminin. Mereka hendak masuk menemuinya.
Siapakah
golongan shahabat itu? Apa kriteria shahabat yang diizinkan masuk oleh Amirul
Mukminin? Dan apa sajakah keahlian mereka yang menyebabkan mereka dapat masuk
menemui Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab?
Mereka
yang sudah berada di depan pintu itu, Abu Sufyan Ibn Harb, mantan panglima
perang Qurays, yang sudah masuk Islam, dan pernah memerangi Rasul shallahu
alaihi wa sallam, dan kemudian mendapatkan hidayah. Ada Al-Absyamiy dari
kalangan Bani Abdu Syams dari kalangan keluarga Arab yang paling tinggi
nasabnya. Lalu, Suhail ibn Amr, juru bicara Arab, dan yang lainnya ada pula
Al-Haritz ibn Hisyam. Mereka berdiri. Sedangkan disamping mereka ada Bilal ibn
Rabbah, mantan budak belian berasal dari Abesinia, Shuhaib Ar-Rumiy dari bangsa
Romawi, Salman al-Farisi dari negeri persia, dan Abdullah bin Mas’ud, mantan
penggembala ternak, yang menjadi shahabat yang mulia dengan ilmunya.
Mereka
mengerumuni pintu khalifah seraya meminta izin kepada Umar ra untuk masuk
menemuinya. Orang yang diperbolehkan masuk adalah orang yang paling dekat kepada Allah. Kemudian sepuluh shahabat
yang mendapatkan berita gembira dijamin masuk surga, lalu masuklah ahli Badr
sesuai dengan kedudukan mereka, kemudian barulah orang lainnya yang dipilih.
Kemudian
pengawal pribadi Umar bertanya: “Siapakah yang ada di depan pintu?”, ucapnya.
Abu Sufyan menjawab, “Sampaikanlah kepada Amirul Mukminin bahwa aku ada disini”,
cetusnya.
Selanjutnya
pengawal itu bertanya,”Dan siapakah kalian?”. Mereka pun menyebutkan namanya
masing-masing, dan kemudian pengawal kembali kepada Khalifah Umar ibn Khattab
dan memberitahukan hal itu kepadanya.
Umar
berkata, “Berilah izin kepada Bilal ibn Rabbah untuk masuk!” ujar Umar. Dan,
Billal pun mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan pertemuan yang sudah
disiapkan itu. “Suruh Shuhaib masuk,” ucap Umar. Tak lama Umar berkata, “Suruh
Salman masuk”. Setelah itu, Umar berkata, “Ibnu Mas’ud masuk!”
Sesudah
shahabat masuk semuanya, Abu Sufyan yang hidungnya terlihat mengembang, karena
marah dan merasa mendongkol yang sangat, berkata, “Demi Allah yag tiada tuhan
berhak disembah selain Dia, aku tidak mengira bila Umar membuatku lama menanti
sesudah mereka masuk terlebih dahulu sebelumku.”
Mengapa
hal itu terjadi? Sesungguhnya Abu Sufyan menimbang segala sesuatu dengan
parameter jahiliyah. Ternyata sisa-sisa jahiliyah masih membekas dalam dirinya.
Sangat
berbeda dengan Umar ra, maka parameter yang digunakannya berbeda dengan Abu
Sufyan. Sesungguhnya Umar menilai segala sesuatu berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Maka saat itu juga Suhail ibn Amr, teman dekatnya yang cukup bijak,
mengatakan kepadanya, “Wahai Abu Sufyan, demi Allah, aku tidak peduli dengan
pintu Umar dan izinnya. Akan tetapi, aku khawatir bila kita dipanggil pada hari
qiamat nanti, maka mereka masuk surga, sedangkan kita ditinggalkan, karena sesungguhnya
mereka dan kita diseru, ternyata mereka lah yang menyambutnya, sedangkan kita
mengingkari. Oleh karena itu, pantaslah bila mereka didahulukan, sedangkan kita
dibelakangkan”.
Perhatikan
bagaimana Umar ra menilai martabat manusia hanya berdasarkan paramater taqwa kepada Allah Ta’ala.
Dalam pemerintahan Umar ra masih belum puas, kecuali bila Bilal harus
diprioritaskan atas mereka semuanya, karena sesungguhnya Bilal adalah orang
yang lebih dahulu msuk Islam. Apakah kaum muslimin sudah lupa kalimat: “Ahad!
Ahad!” sedang tubuh Bilal dijemur di atas padang pasir yang terik panasnya
mendidih, dipukuli, diseret dengan kuda, dan didera dengan berbagai siksaan,
sementara yang menyiksanya berkata, “Tinggalkanlah Tuhan sembahanmu!”, sedang
Bilal hanya mengatakan, “Ahad! Ahad!”
Oleh
karena itu, Bilal didahulukan, karena dia telah mengenal jalan menuju kepada
Allah Azza Wa Jalla. Rasul shallahu alaihi wa sallam pernah memanggil Bilal,
lalu bersabda:
“Hai Bilal, mengapa engkau
mendahuluiku masuk surga? Sesungguhnya ketika aku msuk surga tadi malam (malam
Isra’), aku mendengar suara terompahmu dihadapanmu”.
Bilal
menjawab : “Wahai Rasulullah, tidaklah sekali-kali aku menyerukan adzan,
melainkan terlebih dahulu aku melakukan shalat dua rakaat dan tidak sekali-kali
aku mengalami hadast, melainkan aku berwudhu. sesudahnya, kemudian mengerjakan
shalat dua rakaat sebagai kewajibanku kepada Allah”. Rasulullah shallahu alaihi
wa sallam, bersabda : “Karena kedua-duanya”. Dan, Billal tidak menjawab : “Karena
aku punya harta, anak, dan kedudukan atau pangkat”.
Demikian
itu, karena kedudukannya adalah taqwa kepada Allah, pangkatnya adalah kalimat “la
ilaaha illalloh”, dan bekalnya adalah kalimat “la haula wa laa quwwata illaa
billaah” (tiada daya untuk menghindar dari kedurhakaan) dan tiada kekuatan
(untuk melakukan ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah, dan kendaraannya
adalah, “Aku beriman kepada Allah”. Wallahu’alam.
Oleh, Syekh DR. Aidh al- Qarni
Sumber:
Islampos.com [3 Desember 2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar