Sabtu, 04 Februari 2012

DIAMBANG KEHANCURAN

Menanti Kehancuran
Nabi Muhammad saw
Suatu sa’at ummatku akan menjadi rebutan oleh ummat lain, bagaikan buih dilautan. Apakah jumlah mereka sedikit wahai Rasulullah?. Tanya seorang shahabat Nabi. Tidak, kata Rasulullah, bahkan jumlah mereka banyak. Lantas apa yang menyebakan mereka diperebutkan oleh ummat lain?. Jawab Nabi: mereka telah ditimpa penyakit wahn. Apakah wahn itu wahai Rasulullah?. Penyakit wanh adalah bila kalian terlalu mencintai dunia dan takut mati.

Pelayanan Tanpa Keikhlasan
Berdasarkan informasi yang valid, dari semua sisi pelayanan kemasyarakat di negara ini, mulai dari urusan pembuatan KTP, urusan bisnis, pendidikan, politik, transportasi, kriminal dan sebagainya, penuh dengan praktek suap menyuap. Seakan telah menjadi AKSIOMA, bila urusan akan lancar, maka tiada pilihan lain kecuali dengan melaksanakan praktek suap menyuap. Ironisnya, termasuk urusan ibadah yang sangat sakral, juga wajib diiringi dengan praktek suap menyuap bila ingin lancar. Sebagaimana sering terdengar dalam kepengurusan ibadah haji, untuk mendapatkan nomor kursi harus dengan membayar biaya administrasi yang tidak legal. Bahkan menurut informasi media TV, salah satu kementerian yang paling korup di negara mayortis muslim ini adalah kementerian agama, subhanallah.
Kita ingin mencetak generasi sholeh yang unggul, tapi apakah mungkin bisa berhasil bila sel-sel darah anak-anak kita dibangun dari uang haram. Sangat jauh dari harapan. Mungkin bisa tercapai, tetapi hanya kulit luarnya saja. Generasi yang secara fisik dan penampilan terlihat sebagai seorang muslim, tetapi jiwanya keropos dari nilai-nilai kesholehan. Paradigma berpikirnya sangat bertentangan dengan paradigma Islam, tidak mempunyai izzah sebagai seorang muslim. Akhirnya hanya seperti buih dilautan yang diombang-ambingkan oleh hembusan angin. Kemana angin bertiup, kesanalah arah kita. Bila menghadapi tuntutan dipengadilan, baru kelihatan Islamnya dengan mengggunakan baju koko, kopiah atau kerudung bagi yang wanita. Sangat vulgar terlihat di TV, para koruptor dan kriminal yang bergelar sarjana dan beragama Islam, nampak berpakaian muslim saat menghadap hakim. Temasuk para pembunuhpun kelihatan berpakaian muslim dipengadilan. Seakan keislaman sesorang hanya bisa diukur dari penampilan pakaiannya saja. Sungguh ironis.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita sudah sangat paham, bahwa hal tersebut akan mengahcurkan bangsa ini bila tetap dipertahankan.  Ada sisi lain yang dapat mengancam eksistensi bangsa ini.
Dampak liberisasi perdagangan
Undang-undang perdagangan kita sungguh tidak berpihak kepada rakyat Indonesia, terutama para pedagang kecil dan konsumen dalam negeri. Contoh:

Petama: Minimarket dan supermall dengan manajemen modern, bagaikan jamur dimusim penghujan, tumbuh  berkembang disetiap sudut kota, dan disetiap sudut kampung. Nilai jual barang yang  murah,  berkualitas, dan dengan pelayanan yang nyaman, serta dilengkapi dengan barbagai hiburan dan kemudahan, pasti lebih menarik bagi para pembeli [rakyat] yang berjiwa pragmatis. Akibatnya: pedagang kecil yang lebih dahulu berdiri, dipastikan berkurang pendapatannya, bahkan sudah banyak yang gulung tikar. Secara hukum, syah, karena berdirinya minimarket dan supermall tersebut tersebut dilindungi oleh undang-undang. Konon dinegara asal dari supermall tersebut, tidak diberi kebebasan untuk membuka cabang, dengan alasan untuk melindungi para pedagang kecil. Ini contoh kebijakan pemerintah yang berpihak dan melindungi rakyatnya. Dampaknya, pemerintah dinegara asal supermall tersebut pempunyai kewibawaan dihadapan rakyatnya. Di Indonesia, saat ini kita tidak terkejut bila mengetahui rakyat membakar rumah Gubenurnya, membakar kantor Bupatinya, termasuk mencaci maki para pejabat negara dihadap umum. Kewibawaan dan kehormatan pemerintah dimata rakyatnya meluncur kebawah bagaikan bola salju dimusim dingin.

Kedua: Negara kita sangat kaya akan sumber daya yang berkualitas, seperti teh, karet, sawit, coklat, kopi, ikan, udang, kepiting, batubara, minyak bumi, dan sebagainya. Sumber daya tersebut terlebih dahulu disortir, diplih yang berlualitas TERBAIK untuk dijual keluar negeri. Sisanya [hasil sortiran], baru kemudian dijual didalam negeri. Jadi kalau kita kerestoran sea food misalnya kita makan ikan laut, kepiting, dan udang, atau minum teh hangat, menurut kita sudah merupakan hidangan mewah berkualitas tinggi. Namun sesungguhnya yang kita konsumsi tersebut adalah hasil sortiran, alias sisa-sisa yang tidak layak dikonsumsi oleh Negara maju. Contoh lainnya adalah batubara yang berasal dari daerah tertentu di Indonesia terkenal sedikit kandungan unsur belerangnya. Batubara ini wajib dieksport keluar negeri karena tidak mencemari lingkungan. Sedangkan batubara yang kaya kandungan belerangnya dikonsumsi oleh pembangkit energy di Negara kita.Ini artinya, kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada pelestarian lingkungan demi keunutungan ekonomi.Disisi lain merusak lingkungan sendiri yang berdampak kepada kesehatan dan kecerdasan rakyat Indonesia.

Menurut Muhaimin Iqbal, sebagaimana tercantum dalam situs eramuslim.com:
Dalam ilmu energy, dikenal istilah EROI – Energy Return On Investment. Yaitu energy earned [yang dihasilkan] dibagi dengan dengan energy consumed [yang dikonsumsi] dari suatu system.
Bangsa-bangsa yang memiliki pengelolaan energy dengan EROI tertinggi dia yang akan mempunyai tenaga ekstra untuk menjaga eksistensi bangsa tersebut dan akan terus berkembang. Sebaliknya bangsa-bangsa yang memiliki sistem dengan EROI rendah, maka dia akan sulit bertahan dan bahkan akan cenderung punah.

Berdasarkan penjelasan di atas, bila kebijakan pengelolaan sumber daya kita tetap dipertahankan seperti saat ini, maka kita akan menjadi manusia-manusia Indonesia yang tidak berkualitas. Hal ini merupakan sisi lain dari asumsi: bangsa ini berada DIAMBANG KEHANCURAN. Konsumsi kita adalah barang yang tidak berkualitas.

Salah Satu Pilar Negara Sejahtera
Tanda-tanda ini semakin jelas terlihat. Pemimpin yang membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyatnya, berarti tidak mencintai rakyatnya. Rakyat yang tidak medo’akan pemimpinnya berarti tidak mencintai pemimpinnya. Negara dan bangsa ini diambang kehancuran, bila tidak dilakukan PERUBAHAN yang RADIKAL. Wallahu a’lam.

Pagedangan, 4 Pebruari 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar